Senin, 23 April 2012

PATOGENESIS MALARIA

Setelah melalui jaringan hati, P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggungjawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia.Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.

Pathogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh factor parasit dan factor penjamu (host).Yang termasuk dalam factor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam factor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetic, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-Erythrocyte Surgace Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan EP membrane stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.

i. Sitoadherensi. Sitoadherensi adalah perlekatan antara EP stadium matur pada perlekatan endotel vaskuler. Perlekatan terjadi engan cara molekul adhesive yang terletak di permukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesive yang terletak di permukaan endotel vaskuler. Molekul adhesive di permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1, P.falciparum erythrocyte membrane protein-1. Molekul adhesive di permukaan sel endotel vaskuler adalah CD36, trombospondin, intercellular – adhesion molecule – 1 (ICAM-1), vaskuler cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), endotel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan glycosaminoglycan condroitin sulfate A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetic oleh sekelompok gen yang berada di permukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenic yang sangat besar.

ii. Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.

iii. Rosetting. Resetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi yang juga dapat melakukan resetting. Resetting menyebabkan obstruksi aliran darah local/dalam jaringan, sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren.

iv. Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-α (tumor necrosis factor-alpha), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferon-gamma (INF-γ). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-α yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi, kadar TNF-α, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena dijumpai juga penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai free-radical dalam kaskade ini seperti nitrit-oxide sebagai factor yang penting dalam patogenesa malaria berat.




v. Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi molekuladhesi. Diduga produksi NO local di organ terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain mengatakan kadar NO yang tepat, memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar arginin pada pasien tersebut rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada pathogenesis malaria berat masih controversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan.